Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Alloh berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” [Al-Baqorah : 30].
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. 'Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (mitsaqon gholidhoo), sebagaiman firman Alloh Ta'ala.
"Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” [An-Nisaa' : 21].
Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khusunya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sunguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.
Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah Shohih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Sholih -pen), dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.
Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Alloh Ta'ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Alloh Subhanahu wa Ta'ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fitrahnya.
Perkawinan adalah fithrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Alloh Ta'ala.
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Alloh) ; (tetaplah atas) fitrah Alloh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Alloh. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Ar-Ruum : 30].
A. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagi satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik Rodhiyalloohu 'Anhu berkata : “Telah bersabda Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam :
Artinya : “Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Alloh dalam memelihara yang separuhnya lagi.” [Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim]
B. Islam Tidak Menyukai Membujang
Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik Rodhiyalloohu 'Anhu berkata : “Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras.” Dan beliau bersabda :
Artinya : “Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbanggga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat.” [Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban]
Pernah suatu ketika tiga orang Shohabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata : Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata : Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya .... Ketika hal itu di dengar oleh Nabi Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam, beliau keluar seraya bersabda :
Artinya : “Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Alloh, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golongannku.” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim].
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab.”
Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagian hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Alloh.
Islam menolak sistem kerahiban karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Alloh Ta'ala yang telah ditetapkan bagi mahluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Alloh sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang diakaruniakan Alloh, misalnya ia berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!".
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Alloh dan hadits-hadits Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam. Alloh memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Alloh akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Alloh menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya :
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Alloh akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Alloh Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [An-Nur : 32].
Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam menguatkan janji Alloh itu dengan sabdanya :
Artinya : “Ada tiga golongan manusia yang berhak Alloh tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya.” [Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah Rodhiyalloohu 'Anhu].
Para Salaafus-Sholih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.
Ibnu Mas'ud Rodhiyalloohu 'Anhu pernah berkata : “Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Alloh sebagai seorang bujangan.” [Ihya 'Ulumuddin dan Tuhfatul 'Arus hal. 20].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar