INI sebuah kalimat yang sudah jadi klise: Apalah arti sebuah nama.
Kata-kata itu diulang berjuta-juta kali saat orang kerepotan bicara soal nama atau oleh nama. Sejak pertama diciptakan William Shakespeare lewatRomeo and Juliet, sekitar 500 tahun lalu, kita selalu mengulangnya.
Di drama aslinya, Romeo dan Juliet tetap memegang teguh cinta mereka dan tak peduli pada nama belakang masing-masing, satu Capulet, satu lagi Montague. Mereka tak peduli antara Capulet dan Montague bermusuhan.
Di luar konteks cerita aslinya, kalimat itu kemudian dicomot sembarangan untuk mengatakan sebuah nama tak demikian berarti. Apalah arti sebuah nama?
Nyatanya, nama penting. Setiap manusia punya nama tak lama setelah lahir. Nama jadi pembeda satu manusia dengan manusia lain. Demikian pentingnya nama, pemberian nama bahkan dirayakan. Karena, dalam nama biasanya ada doa. Dan nama seringkali tidak datang sembarangan.
Orang tua kerap menyiapkan nama anaknya jauh hari. Saat masih hamil, atau bahkan ada yang menggadang sejak belum menikah.
Apalah arti sebuah nama?, kata Shakespeare. Penting, jawab sebagian kita.
Syahdan, kita bertemu dengan lagu “Udin Sedunia” yang pertama ngetop di You Tube lalu wara-wiri di Televisi.
Seketika, pelantunnya, Sualuddin atau Udin, 26 tahun, asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, meski belum mendunia jadi seleb dadakan.
Lagunya kocak, ia berkisah soal nama-nama Udin.
Saya tergelitik bertanya, mengapa banyak orang Indonesia memakai nama Udin atau memberi akhiran (kalau istilah ini tepat) “din” di belakang nama mereka?
Nama “udin” tentu berasal dari kata Arab “din” yang berarti “agama”. Awaludin berarti mendahulukan agama; Kamarudin (Komaruddin) berarti kesempurnaan agama; Jalaludin, keagungan agama; dan Sapiudin, mungkin maksudnya Saifuddin yang berarti pedang agama.
Lantas, bagaimana dengan nama-nama Udin dalam lagu "Udin Sedunia"? Tentu, kita sepantasnya menganggap apa yang ada di lagu “Udin Sedunia” hanya banyolan penggubahnya. Saya yakin, Udin yang ini sekadar memberi tafsiran kocak atas nama-nama berakhiran “din”.
Yang menarik, saya hendak menceritakan kembali sebuah kisah yang saya dapat dari buku Freakonomics (edisi Indonesia, 2006) yang ditulis Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubnar.
Dicatat di buku itu, industri penamaan bayi saat ini berkembang luar biasa. Ada banyak buku nama-nama bayi, situs web, bahkan konsultan nama bayi.
Tapi pada 1958, seorang warga Harlem, New York bernama Robert Lane memberi nama anaknya Winner (pemenang). Winner Lane, bagaimana hidupnya bisa gagal dengan nama seperti itu?
Tiga tahun kemudian, Lane kembali punya anak laki-laki, anak ketujuh mereka. Karena alasan yang tak dimengerti hingga saat ini, Robert menamai anak ini Loser (pecundang). Tidak ada tanda-tanda Robert membenci anaknya, ia hanya kehabisan ide. Pertama Winner, sekarang Loser. Namun jika Winner tidak diharapkan gagal, apakah kemudian Loser Lane akan berhasil?
Nyatanya, Loser Lane sukses. Ia masuk sekolah dengan bea siswa dan jadi sarjana dari Lafayette College di Pensylvania dan kemudian bergabung jadi polisi New York. Meski tak pernah menyembunyikan namanya, banyak orang kurang sreg menyebut namanya.
Lalu bagaimana dengan kakaknya yang punya arti nama tidak-bisa-kalah? Pencapaian paling patut dicatat Winner Lane, di usia 40 tahun, adalah rekor kriminal yang panjang: meliputi 3 lusin penangkapan karena pencurian, kekerasan domestik, masuk rumah tanpa izin, melawan ketika ditangkap, dan banyak kelakuan brengsek lain.
Bagi banyak orang tua, nama tetaplah doa. Bagaimana jalan hidup si anak kelak, orang tua sudah berdoa lewat nama yang diberikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar